Selasa, 27 Januari 2009

Doktrin Separability

Doktrin separability (keterpisahan) berkembang untuk menjamin keberlanjutan klausul arbitrase dalam suatu perjanjian yang dibatalkan, baik diakibatkan karena penyangkalan atau tidak dapat dilaksanakan (frustration), pembatalan atau batal demi hukum karena bertentangan dengan undang2. Melalui doktrin ini, suatu klausul arbitrase dalam kontrak komersial diperlakukan sebagai suatu perjanjian tersendiri dan terpisah dari perjanjian pokoknya (main agreement) dan klausul arbitrase tersebut tidak akan batal/ berakhir meskipun perjanjian pokoknya mengalami kebatalan sedari awal (batal demi hukum). Doktrin ini lebih kepada alasan pragmatis daripada logis serta sangat dikenal dan diterima di praktik arbitrase internasional. Doktrin ini telah diterapkan pula di sejumlah kasus di pengadilan-pengadilan Inggris seperti dalam Wilson (Paul) & Co A/S v. Partenreederei Hannah Blumenthal dan Harbour Assurance v Kansa General International Insurance [1993] 1 Lloyd’s L Rep 455 [CA]. Suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian pokok meskipun lahir dari perjanjian pokok, namun ia memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri meski perjanjian pokoknya mengalami kebatalan atau batal demi hukum.

Doktrin ini sangat berkembang di Common Law System dan telah diadopsi di berbagai negara dan praktik arbitrase internasional. Di Indonesia doktrin ini dinormakan dalam Pasal 10 UU No. 30 Tahun 1999, dimana suatu klausul/ perjanjian arbitrase tidak akan mengalami kebatalan meskipun perjanjian pokoknya mengalami kebatalan karena berbagai alasan.

Doktrin Kompetenze-Kompetenze

Doktrin kompetenze-kompetenze terkait dengan kompetensi dari arbiter/ majelis arbitrase untuk memutuskan kewenangannya (yurisdiksinya) sendiri. Doktrin ini sangat erat kaitannya dengan doktrin separability (keterpisahan) perjanjian arbitrase. Beberapa pengadilan Inggris telah mengenal doktrin ini, namun beberapa masih berpendirian bahwa arbitrase tidak seharusnya memiliki kewenangan ini. Doktrin ini cukup kontroversial dan sangat bervariasi penerapannya pada satu negara dengan negara yang lain. Pengadilan Singapura belum menerapkan hal ini, putusan-putusan terdahulu lebih berpendirian bahwa arbiter/ majelis arbitrase tidak memiliki kompetensi untuk memutuskan kewenangannya sendiri. Dengan tidak adanya undang2 yang mengatur tentang hal itu, ketidakpastian pengaturan mengenai hal ini hanya dapat diputuskan dengan menerapkan peraturan prosedural yang menjamin kompetensi tersebut pada arbitrer/ majelis arbitrase.

Keuntungan dengan memberikan arbiter/ majelis arbitrase kompetensi untuk memutus isu terkait dengan kewenangannya akan dapat menghindarkan penundaan pemeriksaan perkara dan pembiayaan yang lebih ringan. Apabila hanya pengadilan saja yang dapat memutus isu tersebut, maka hal ini dapat dimanfaatkan oleh salah satu pihak untuk dengan sengaja menunda pemeriksaan di arbitrase dengan memasukkan permohonan untuk membatalkan proses pemeriksaan arbitrase yang sedang berjalan.

Bagaimana dengan di Indonesia? Dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, doktrin ini belum diadopsi. Sehingga belum ada kepastian apakah arbiter/ majelis arbitrase memiliki kompetensi untuk menilai dan memutuskan kewenangannya sendiri. Dalam praktik sejauh ini, pihak Termohon dalam jawabannya bisa mengajukan eksepsi kompetensi pada arbiter/ majelis arbitrase, dan atas adanya eksepsi ini arbiter/ majelis arbitrase akan memutus apakah dirinya berwenang ataukah tidak, dengan demikian pada dasarnya arbitrase telah menerapkan doktrin kompetenz-kompetenz meskipun tidak diatur dalam undang-undang. Sangat jarang pihak Termohon melawan (challenge) yurisdiksi arbitrase di pengadilan pada awal pemeriksaan perkara di arbitrase. Kebanyakan pihak yang dikalahkan baru melawannya di pengadilan setelah jatuh putusan arbitrase melalui upaya pembatalan putusan arbitrase.

Dalam praktik arbitrase internasional (ICSID, ICC, Permanent Court of Arbitration), dalam setiap putusan arbitrase meskipun tidak ada perlawanan terhadap yurisdiksi arbitrase (eksepsi), arbiter wajib mencantumkan pertimbangan mengenai kewenangannya dalam memeriksa perkara tersebut.

Senin, 05 Januari 2009

Actor Sequitur Forum Rei vs Forum Rei Sitae

Masih terdapat kebingungan di antara para mahasiswa ketika mereka dihadapkan pada suatu kasus perdata terkait dengan suatu benda tidak bergerak (benda tetap) dan diminta untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang untuk memeriksa perkara tersebut dengan menerapkan asas-asas yang berlaku.

Pada umumnya mereka langsung menerapkan asas forum rei sitae, sehingga menurut kebanyakan dari mahasiswa, yang berwenang untuk memeriksa perkara adalah pengadilan negeri tempat kedudukan dari benda tidak bergerak yang menjadi pokok sengketa. Apakah memang demikian?

Sejarah Prinsip Actor Sequitur Forum Rei
Prinsip actor sequitur forum rei bermula dari doktrin forum non convenience yang berkembang di pengadilan-pengadilan di negara-negara common law system. Menurut doktrin ini, pengadilan tidaklah berwenang untuk memeriksa suatu perkara apabila terdapat pengadilan di lain tempat yang lebih berwenang untuk memeriksa perkara tersebut. Prinsip ini kemudian secara universal diterima sebagai prinsip umum dalam pengadilan perdata dengan menggunakan acuan tempat kedudukan Tergugat. Oleh Belanda prinsip ini diterima dan diterapkan di daerah jajahannya di Hindia Belanda dengan HIR dan RBg.

Prinsip Dalam Pasal 118 HIR
Dalam HIR prinsip ini dinormakan dalam Pasal 118 ayat (1) dimana menentukan bahwa suatu gugatan ditujukan kepada Pengadilan Negeri di tempat kediaman (domisili hukum) dari Tergugat. Pasal ini sebenarnya mengandung prinsip keadilan, dimana pihak Penggugat-lah yang harus datang ke Pengadilan tempat kedudukan Tergugat sehingga mempermudahkan bagi Tergugat untuk memberikan tanggapan atas gugatan tersebut.

Pasal 118 HIR juga memberikan beberapa opsi, yaitu:
1) Ayat (2) -- apabila yang digugat lebih dari seorang dan tinggal berlainan tempat, maka boleh pilih salah satu; tapi apabila di antara Tergugat itu ada borgnya, maka yang dipilih adalah tempat debitor utama;
2) Ayat (3) -- apabila Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya, maka boleh gugatan diajukan di pengadilan di wilayah tempat tinggal Penggugat; dan apabila gugatan terkait dengan benda tidak bergerak maka gugatan itu diajukan pada pengadilan yang meliputi tempat dari benda tidak bergerak tersebut;
3) Ayat (4) -- apabila dalam perjanjian telah ditentukan domisili apabila terjadi sengketa yang timbul dari perjanjian itu, maka gugatan BOLEH dimasukkan ke pengadilan dimana domisili telah dipilih.

Penerapan Forum Rei Sitae dalam Pasal 118 ayat (3) HIR
Berkaitan dengan topik ini, maka terlebih dahulu kita perhatikan ketentuan dalam Pasal 118 ayat (3):
"Jika orang yang digugat tidak bertempat diam yang dikenal, lagi pula tempat ia sebetulnya tinggal tidak diketahui atau jika orang yang digugat tidak terkenal, maka tuntutan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal orang yang menggugat atau salah seorang dari pada orang yang menggugat ATAU tuntutan itu tentang barang tetap, maka tuntutan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam pegangannya terletak barang itu."
Pasal tersebut mengandung prinsip "forum rei sitae", yaitu setelah kata "ATAU".

Dari bunyi pasal tersebut dapatlah ditarik, bahwa Pasal 118 ayat (3) mengatur keadaan apabila Tergugat tidak lagi diketahui tempat tingalnya. Sesuai dengan prinsip "satu pasal satu nafas norma", menurut hemat saya apabila gugatan itu terkait dengan benda tetap, sedangkan tempat kedudukan Tergugat diketahui, maka gugatan tetap diajukan di pengadilan yang wilayahnya meliputi tempat kedudukan Tergugat; NAMUN apabila tempat kedudukan Tergugat tidak diketahui, dan gugatan terkait dengan benda tetap, maka gugatan diajukan di pengadilan yang wilayahnya meliputi tempat dimana benda tetap itu berada.

Dapat disimpulkan penerapan pasal 118 ayat (3) terkait dengan asas forum rei sitae haruslah dengan syarat:
1) tempat tinggal tergugat tidak diketahui; dan
2) objek sengketa mengenai benda tetap (benda tidak bergerak).

Saya memahami terdapat perbedaan di antara para sarjana, sebagaimana Prof. R. Soebekti dan Prof. R. Soepomo yang berpendapat bahwa sepanjang pokok sengketa mengenai benda tetap, maka pengadilan yang berwenang adalah pengadilan tempat kedudukan benda tetap itu berada. Berbeda lagi dengan pendapat MA sebagaimana dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II terbitan MA RI tahun 1994 hal. 116 yang menyatakan "Jika tempat tinggal Tergugat diketahui, patokan menentukan kompetensi relatif tetap berdasarkan actor sequitur forum rei, meskipun objek senghketa yang diperkarakan terdiri dari benda tetap.

Demikian